Sejarah Masjid Raya Baiturrahman Peninggalan Kerajaan Islam

Estimated read time 2 min read

Masjid Raya Baiturrahman (bahasa Indonesia: Masjid Raya Baiturrahman; bahasa Aceh: Meuseujid Raya Baiturrahman) adalah sebuah masjid yang terletak di pusat kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, Indonesia. Masjid Raya Baiturrahman merupakan simbol agama, budaya, semangat, kekuatan, perjuangan dan nasionalisme masyarakat Aceh. Bangunan Masjid ini merupakan landmark Banda Aceh dan selamat dari tsunami Samudera Hindia tahun 2004.

Sejarah Mula Pembangunan Masjid Raya Baiturrahman

Masjid Raya (“Masjid Agung”) yang asli dibangun pada tahun 1612 pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Ada yang mengatakan masjid aslinya dibangun lebih awal pada tahun 1292 oleh Sultan Alaidin Mahmudsyah. Masjid kerajaan yang asli memiliki atap jerami bertingkat, ciri khas arsitektur Aceh.

Ketika pemerintahan Kolonial Hindia Belanda menyerang Kraton pada Ekspedisi Aceh Pertama tanggal 10 April 1873, pihak Aceh menyerang KNIL dari Masjiid Raya Baiturrahman. Dari beberapa suar yang ditembakkan ke atap jerami, masjid tersebut terbakar. Jenderal van Swieten berjanji kepada penguasa setempat bahwa dia akan membangun kembali masjid tersebut dan menciptakan tempat yang hangat untuk meminta ampun. Pada tahun 1879, Belanda membangun kembali Masjid Baiturrahman sebagai hadiah kepada – dan untuk meredam kemarahan – masyarakat Aceh. Pembangunannya baru dimulai pada tahun 1879, ketika peletakan batu pertama dilakukan oleh Tengku Qadhi Malikul Adil yang menjadi imam pertama, dan selesai pada tanggal 27 Desember 1881 pada masa pemerintahan Muhammad Daud Syah, sultan terakhir Aceh. Banyak warga Aceh yang awalnya menolak untuk salat di Baiturrahman karena dibangun oleh Belanda yang mereka lawan. Namun kini, hal tersebut menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi Banda Aceh.

BACA JUGA : 2 Bukti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya

Pada awalnya, masjid ini hanya memiliki satu kubah dan satu menara. Lebih banyak kubah dan menara ditambahkan pada tahun 1935, 1958 dan 1982. Saat ini, masjid ini memiliki tujuh kubah dan delapan menara, termasuk yang tertinggi di Banda Aceh.

Masjid ini selamat dari gempa dan tsunami tahun 2004 dengan kerusakan ringan seperti retakan dinding. Gempa tersebut menyebabkan sedikit miring dan retaknya menara setinggi 35 meter (115 kaki) di gerbang utama. Selama bencana, masjid tersebut berfungsi sebagai tempat penampungan sementara bagi para pengungsi dan baru dibuka kembali untuk salat setelah dua minggu.

You May Also Like

More From Author